DUALISME YURISDIKSI ANTARA PERADILAN UMUM DAN PERADILAN AGAMA TERHADAP SENGKETA EKONOMI SYARIAH

Authors

  • Jesi Aryanto

https://doi.org/10.33476/ajl.v3i1.836

Keywords:

Prinsip Syariah, Kebebasan Berkontrak, Maqasyd Syariah.

Abstract

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan Peradilan
Agama berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, yang diperkuat dengan ketentuan Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 tetang
Perbankan Syariah. Ketetuan Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) telah terjadi
contradictio in terminis. Pada penjelasan ayat (2) huruf d frasa “Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum†telah diposisikan sebagai penyelesaian non
litigasi merupakan penempatan norma yang keliru. Oleh karenanya, ketentuan
tersebut haruslah dikesampingkan dikarenakan Peradilan Umum merupakan
penyelesaian litigasi. Berdasarkan asas personalitas keislaman dan asas
penundukan diri secara sukarela kepada hukum Islam, sebagaimana ketentuan
UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka penyelesaian sengketa
ekonomi syariah khususnya bank syariah menjadi kewenangan peradilan agama.
Selain itu, asas lex specialis derogate legi generalis, yaitu aturan khusus
mengenyampingkan aturan yang umum. Dalam hal ini, ketentuan UU No.3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama adalah sebagai aturan khusus yang
mengenyampingkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan penjelasannya pada huruf d
UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang merupakan aturan
umum. Asas kebebasan berkontrak sebagaimana ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata tidaklah bersifat absolut sepanjang bertentangan dengan syariah,
dan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah maka perikatan/perjanjian
tersebut boleh dilaksanakan.
Prinsip utama penyelesaian sengketa syariah adalah tidak boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (7) jo. Pasal
2 UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada dasarnya penerapan
sanksi baik berupa denda terhadap setiap keterlambatan pembayaran utang oleh
nasabah mampu yang sengaja melalaikan dan menunda-nunda kewajibannya
untuk melaksanakan pembayaran, maupun sanksi dwangsom (uang paksa)
terhadap perbuatan wanprestasi yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dan
kelalaian, maka sanksi tersebut dapat dijatuhkan sepanjang telah disepakati
dalam akad yang telah ditandatangani bersama oleh para pihak, yang bertujuan
untuk menegakkan maqasyd syariah agar nasabah lebih disiplin dalam
melaksanakan kewajibannya. Hal ini sejalan dengan al-Quran (QS. Al-Baqarah:
280) dan al-Hadits serta fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi
Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran.

Downloads

Published

2019-05-17

Issue

Section

Articles